Dow Theory dikenal sebagai awal kehadiran analisa teknikal dalam pasar finansial. Dow Theory ditemukan pada tahun 1800-an oleh Charles Henry Dow bersama rekan-rekannya Edward Jones dan Charles Bergstresser. Mereka para pendiri Dow Jones & Company, Inc. dan merumuskan DJIA (Dow Jones Industrial Index). Dow Theory pertama kali dipublikasikan melalui seri artikel dalam Wall Street Journal yang juga mereka temukan bersama.
Sayangnya ketika Charles Dow wafat di tahun 1902, teori tersebut belum terpublikasikan hingga tuntas. Namun dari teori-teori yang ada telah menginspirasi para pengamat pasar finansial dan terus berkembang hingga saat ini dengan masih berdasar pada Dow Theory yang semula.
Seperti yang umumnya diketahui untuk membuat analisa saham dapat dilakukan dengan metode Fundamental Analysis dan atau Technical Analysis. Sebagian besar seminar-seminar yang diadakan oleh Sekuritas maupun para pengamat saham akan selalu mengajarkan untuk menilai saham dari Fundamental Analysis. Fundamental Analysis memang teori paling utama ketika kita berinvestasi pada saham dan memegang peranan paling penting dalam pemilihan saham-saham yang beredar. Namun, kita akan sering menemukan kondisi dimana Emiten (Perusahaan yang terdaftar di bursa) yang memiliki performa baik secara Fundamental namun harga sahamnya semakin menurun.
Kondisi tersebut cukup membingungkan para investor, alih-alih bersuka cita karena memperoleh perusahaan dengan harga lebih murah, justru menekan psikologis mereka dan membuat tidak tenang dalam berinvestasi saham. Hingga pada puncaknya mereka semakin panik lalu menjual rugi seluruh kepemilikan sahamnya untuk memasuki saham lain yang harganya sedang bergerak naik. Kesalahan berikutnya terulang, karena tanpa sadar mereka justru membeli saham ketika sedang berada di puncak harganya dan portofolio mereka kembali terhempas.
Atau dalam kasus lain, ditemukan emiten yang memiliki performa sangat baik, namun secara perhitungan analisa fundamental saham tersebut seharusnya sudah terlalu mahal. Para Fundamentalis akan menunggu hingga harga emiten incarannya tersebut mencapai harga wajarnya namun yang terjadi malah harga saham perusahaan terus menanjak sehingga mereka tak kunjung berinvestasi pada saham tersebut.
Analisa Teknikal hadir untuk menjawab kekhawatiran tersebut, analisa teknikal menilai suatu emiten dengan beracuan pada Price Action di masa lalu sehingga pada akhirnya muncul Trend harga untuk memprediksi pergerakan harga saham di masa mendatang sehingga investor maupun trader dapat memprediksi besar potensi dan risikonya untuk mempertimbangkan waktu yang paling tepat dalam membuat keputusan ketika investasi saham. Seperti yang dikemukakan di awal mula penemuannya, bahwa analisa teknikal dengan Dow Theory juga dapat digunakan untuk hampir semua jenis produk pasar finansial seperti Forex, komoditas, dan sebagainya.
Inilah 6 poin Dow Theory yang dapat digunakan jika ingin jago berinvestasi saham:
1. The Market Discount Everything
Dow Theory menyatakan bahwa pasar akan mempertimbangkan informasi apapun yang mereka dapat untuk menentukan nilai saham di bursa sehingga harga saham mencerminkan nilai aktualnya. Hal ini sejalan dengan teori Efficient Market Hypothesis (EMH) dimana informasi tersebut dapat berupa kondisi pencapaian perusahaan, keunggulan kompetitif, kompetensi managemen, kondisi ekonomi global maupun domestik, faktor psikologis pelaku pasar, hingga kejadian yang mungkin akan berlangsung di masa depan.
Meskipun tidak semua informasi di dapat oleh setiap pelaku pasar namun Price Action yang dilakukan oleh pelaku pasar akan tercermin dalam harga saham saat itu juga. Hal inilah yang membuat harga saham bergerak fluktuatif mengikuti keinginan pelaku pasar. Teori ini juga menjawab pertanyaan mengapa emiten dengan fundamental baik terkadang harganya malah semakin menurun atau sebaliknya.
Dengan beracuan pada Price Action, analisa teknikal akan mengabaikan segala jenis rumor yang beredar sehingga analisa yang didapat lebih stabil namun juga tetap mengikuti kondisi pergerakan harga saham sedang yang berlangsung.
2. There Are Three Primary Kinds of Market Trends
Menurut Dow Theory, pergerakan harga saham terbagi ke dalam tiga jenis trend yaitu Trend Primer yang berlangsung lebih dari 1 tahun, didalamnya terdapat Trend Sekunder yang melawan arah Trend Primer. Seperti ketika Trend sedang Bullish (Uptrend) maka Trend Sekunder muncul membentuk trend Bearish (Downtrend) yang hanya berlangsung selama 3 minggu hingga 3 Bulan, atau sebaliknya ketika Trend Primer berlangsung Bearish, maka Trend Sekunder akan bergerak Bullish. Sedangkan trend yang lebih pendek disebut sebagai Trend Minor yang berlangsung kurang dari 3 minggu kurang dari 3 minggu yang melawan Trend Sekunder atau beriringan dengan Trend Primer.
Pemisahan 3 jenis trend dalam Dow Theory ini akan sangat membantu ketika investasi saham terutama di bursa Indonesia dimana kita hanya bisa mengambil keuntungan ketika market bergerak Bullish (Jika dibandingkan dengan bursa Amerika dimana investor dapat memasang posisi Short untuk menjual saham tanpa harus memiliki saham tersebut ketika pasar bergerak Bearish dan baru menebusnya ketika harga saham sudah berada di posisi lebih rendah).
Dengan memahami tiga jenis trend tersebut kita dapat memilah saham-saham yang layak beli yaitu saham-saham yang Trend Primer-nya sedang bergerak Bullish. Cara termudah untuk mengidentifikasinya yaitu dengan memperhatikan posisi chart dalam interval yang berbeda. Kita dapat menggunakan chart dengan interval Monthly untuk mengidentifikasi Trend Primer, lalu chart Weekly untuk mengidentifikasi Trend Sekunder dan menggunakan interval Daily untuk mengidentifikasi Trend Minor.
3. Primary Trends Have Three Phases
Dari keseluruhan trend yang disebutkan pada poin ke-2, Dow Theory juga mengemukakan adanya tiga fase pergerakan trend. Ketika pasar bergerak Bullish, akan dimulai dengan fase pertama yaitu saat dimana para investor menilai saham tersebut relatif cukup murah (under value) dan mulai mengkoleksi secara berangsur-angsur sehingga semakin meningkatkan jumlah permintaan saham tersebut dalam beberapa waktu yang disebut sebagai Accumulation Phase. Ketika saham sudah mulai bergerak naik akan semakin banyak investor-investor lain yang mengikuti arus pergerakan saham sehingga harga saham semakin bergerak naik yang disebut sebagai Participation Phase. Trend bullish akan terus berlanjut hingga saatnya para investor menilai harga saham terlampau mahal dan mulai menjual kepemilikan mereka untuk memperoleh profit yang disebut sebagai Excess Phase.
Seperti halnya dalam trend Bullish, tiga jenis fase ini juga terjadi ketika trend Bearish yang dimulai dengan Distribution Phase ketika investor mulai berangsur-angsur menjual sahamnya karena dianggap relatif cukup mahal untuk mengambil keuntungan. Ketika harga saham berangsur-angsur turun maka akan lebih banyak lagi investor lain yang ikut menjual kepemilikan sahamnya yang disebut sebagai Participation Phase. Pada titik terendah terjadi lonjakan penawaran saham oleh investor-investor yang khawatir bahwa penurunan harga saham akan terus berlangsung yang disebut sebagai Panic / Despair Phase.
Pengetahuan ini dimanfaatkan oleh Warren Buffett dalam berinvestasi, beliau pernah mengatakan “Be fearful when others greed and greedy only when others are fearful” (khawatirlah ketika orang lain menjadi rakus dan rakuslah hanya ketika orang lain ketakutan). Warren Buffett justru menyarankan untuk memborong saham ketika harga turun dan menjual saat harga naik. Hal ini sering disalahartikan oleh investor awam, mereka menelan strategi investor nomor satu di dunia tersebut mentah-mentah tanpa memahami tiga fase dari Dow Theory ini. Alih-alih memperoleh keuntungan, justru portofolio mereka merah karena tidak tahu kapan trend penurunan harga tersebut akan berakhir.
Sementara di kalangan trader atau analis menyebut peristiwa tersebut sebagai “catching a falling knive”. Harga yang sedang turun diibaratkan seperti sebuah pisau yang jatuh yang ingin Anda dapatkan, maka akan lebih bijak jika membiarkan pisau itu terjatuh hingga berhenti mencapai tanah sebelum mendapatkannya.
4. Volume Must Confirm The Trend
Mengikuti pola 3 fase pada poin nomor 3, Dow Theory juga menyimpulkan bahwa Trend yang terjadi harus diikuti dengan Volume transaksi yang juga meningkat. Sebagai contoh ketika pasar sedang bergerak Bullish maka seharusnya diikuti dengan volume permintaan yang juga meningkat, penurunan volume transaksi mengisyaratkan adanya pelemahan trend dan kemungkinan trend akan segera berubah.
Dengan mengamati rata-rata volume bergerak kita dapat memastikan kekuatan sebuah trend atau bersiap ketika mengidentifikasi potensi perubahan trend atau bahkan dapat menyelamatkan kita dari false signal dimana trend terlihat berubah arah tanpa diikuti oleh peningkatan volume dan hanya berlangsung singkat.
5. Indices Must Confirm Each Other
Tidak hanya dikonfirmasi oleh volume, dalam Dow Theory juga disebutkan bahwa pergerakan indeks antara satu dengan lainnya harus saling mengkonfirmasi. Dow Theory tercipta pada masa kebangkitan industri yang tersebar luas di berbagai penjuru Amerika. Sedangkan untuk menunjang distribusinya biasanya menggunakan jalur rel. Inilah yang menjadi perhatian Dow dan rekan-rekan untuk membuat dua indeks pergerakan rata-rata yaitu Dow Jones Industrial Average (DJIA) dan Dow Jones Transportation Average (DJTA). Dengan asumsi bahwa hasil industri yang bertumbuh akan memerlukan transportasi sebagai alat distribusi menuju konsumen, sehingga seharusnya keduanya bergerak searah, jika terjadi perbedaan arah, maka ada sesuatu yang salah di antara keduanya.
Penerapan teori ke-5 ini mungkin akan sedikit berbeda pada era ekonomi global seperti saat ini terutama di bursa negeri kita tercinta Indonesia. Akan muncul banyak sekali pertimbangan dalam memperkirakan sentimen pasar untuk memprediksi kondisi yang sedang atau akan terjadi. Jenis pendekatan untuk menilai potensi pada bursa kita umumnya menggunakan pendekatan Top to Bottom, yaitu dengan berurutan menilai:
- Kondisi Global : pertumbuhan ekonomi, keamanan dari peperangan, kebijakan ekspor-impor antar negara, suku bunga acuan dari Bank Dunia, musim yang akan terjadi, dsb.
- Kondisi Dalam Negeri : arah kebijakan pemerintah, pertumbuhan ekonomi, cadangan devisa, pertumbuhan ekspor-impor, suku bunga acuan BI, pertumbuhan konsumsi masyarakat, dll.
- Performa Perusahaan / Emiten : sektor bergeraknya perusahaan, pertumbuhan rasio pendapatan, pertumbuhan jumlah aset, kondisi hutang, arus kas, kemampuan manajemen, persaingan bisnis, keamanan dari konflik lingkungan internal maupun eksternal, dsb.
Namun para analis teknikal memiliki cara tersendiri dalam membuat perbandingan antar Indeks. Masih dengan menggunakan pendekatan Top to Bottom, analis teknikal akan menilai kondisi dari pergerakan indeks luar negeri (Nasdaq, DJI, Hang Seng, Nikkei) untuk menilai potensi emiten dengan pangsa pasar ekspor. Berikutnya menilai kondisi bursa nasional melalui indeks IHSG serta indeks sektoral (manufacture, misc-industry, basic-industry, consumer, trade, property, infrastructure, finance, mining, agri). Bagian terakhir terakhir memperhatikan trend pada chart emiten itu sendiri.
6. Trends Persist Until a Clear Reversal Occurs
Dow Theory ke-6 menyebutkan bahwa trend akan terus berlanjut hingga muncul tanda-tanda yang jelas mengenai adanya perubahan trend. Seperti yang telah disebutkan dalam poin ke-2, ke-3 dan ke-4 mengenai bentuk trend, fase terjadinya trend, hingga bagaimana volume transaksi mendukung perubahan trend. Pada Dow Theory ke-6 ini akan menenangkan para analis agar tidak mudah panik dalam menilai pergerakan harga saham yang volatile.
Menilai perubahan trend memang bukan hal yang mudah dan butuh ketelitian serta kesabaran untuk memastikan sinyal perubahan trend tersebut terkonfirmasi sempurna. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam menilai perubahan trend yaitu antara lain:
- Penurunan volume transaksi.
- Mencari Divergensi menggunakan indikator tipe oscillator.
- Membandingkan posisi high & low trend terakhir dibanding trend sebelumnya.
- Membuat batas trend menggunakan Trend Line.
- Memperhatikan pergerakan chart terhadap Support & Resistant.
Itulah enam poin Dow Theory yang sangat membantu para analis di pasar finansial sejak jaman dahulu kala dan bahkan hingga saat ini pun masih digunakan dan diadaptasi dengan berbagai strategi investasi lainnya. Berminat untuk menerapkan teori tersebut dalam investasi Anda?
“Dengan gagal merencanakan, Anda sedang merencanakan kegagalan.” – Benjamin Franklin